Kenangan, setiap
manusia pasti memiliki kenangan dalam hidupnya. Entah itu kenangan bersama
kekasih, kawan, maupun keluarga. Jika berbicara mengenai kenangan, tak akan
pernah ada usai. Setiap manusia pun memiliki definisi kenangan berbeda-beda.
Seperti pertunjukkan teater, Kamis pekan lalu tanggal 8 Oktober 2015 diperankan
oleh 5 aktor dan aktris dari Teater Tikar, yang mengisahkan sebuah cerita
hidup mengenai ‘Kenangan’.
Awal pertunjukkan teater ini dimulai
dari latar panggung yang terlihat ‘mencekam’, dengan pencahayaannya yang
sengaja dibuat minimal. Suasana pun
mulai senyap, penonton mulai memperhatikan setiap gerak-geraik yang dilakukan
oleh lima tokoh yang berada diatas panggung.
Seorang
aktris terlihat berdiri, menggengam gagang sapu. Empat orang tokoh lainnya
sudah pada tempatnya masing-masing, dibalik plastik putih buram yang menjuntai
kebawah, terkesan seperti bersembunyi dengan memakai jubah, yang membuat wajah
empat tokoh itu tak terlihat dengan jelas. Dengan tatapan mata mereka yang
tajam dan lurus kedepan. Salah satu tokoh laki-laki berjubah yang berdiri di depan Nyonya-aktris yang
menggenggam gagang sapu-, mencoba membuka percakapan dengan membuka mulut,
bermaksud mengajak si Nyonya untuk berdialog. Suaranya terdengar sangat jelas
dan keras diiringi dengan dentuman gagang sapu oleh si Nyonya. Dan dentuman
sapu pada saat pertama kali, membuat penonton terkejut. Namun, terlihat Nyonya
enggan menanggapi sapaan tokoh laki-laki itu, namun akhirnya ia mengalah untuk
membalas sapaan itu.
Tokoh laki-laki dengan badan gempal
itu pun bertanya kepada Nyonya, dengan pandangan mata yang tajam dan lurus
kedepan,
“Nyonya, mengapa
kau meluangkan waktu sekedar untuk menyapu teras rumahmu?”
Nyonya
tak menanggapinya, lalu datang pertanyaan lain dari tokoh perempuan berjubah
yang berdiri disisi kanan pangung dibalik plastik putih buram yang menjuntai,
nada suaranya yang terdengar tegas dan yakin. Nyonya terlihat sangat tidak
nyaman dengan dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya dari
tokoh-tokoh berjubah itu. Tangannya mulai bergetar menggenggam gagang sapu
tersebut, raut wajahnya sarat akan kesedihan yang mendalam, bibirnya pun mulai
bergetar.
Lalu
keempat tokoh berjubah itu, bergerak dari tempatnya, dan berjalan mengelilingi
si Nyonya, dengan salah satu tangan mereka menunjuk tepat kearah si Nyonya. Langkah
kaki yang mereka buat terdengar sangat jelas, dan keras, seolah-olah berusaha
memenuhi kepala Nyonya dengan suara-suara yang gaduh. Keempat tokoh berjubah
itu meneriakkan pertanyaan-pertanyaan pada si Nyonya dengan suara keras.
Seorang
perempuan memeluk erat lengan seorang laki-laki, dibawah keduanya ada seorang
perempuan lainnya duduk diantara keduanya yang berdiri, satu dari masing-masing
tangan laki-laki dan perempuan yang bergandengan itu menutup mata perempuan
yang ada dibawah mereka. Mereka bertahan pada posisi itu selama beberapa detik.
Seorang
perempuan berdiri, dibawahnya ada laki-laki dan perempuan, dimana si perempuan
tengah memeluk erat lengan si laki-laki, lalu kedua tangan perempuan yang
berdiri itu menutup mata kedua orang yang berada dibawahnya. Mereka bertahan
pada posisi itu selama beberapa detik. Setiap pergerakan yang dilakukan ketiga
tokoh itu mampu menarik perhatian penonton.
Salah
satu dari perempuan itu bergegas bersembunyi dibalik plastik putih buram yang
menjuntai, dan dengan cepat mengenakan jubah. Jubah yang sama seperti yang
dikenakan keempat tokoh tadi di scene awal.
Terlihat
laki-laki berdiri diujung panggung sebelah kiri, dengan makekin dihadapannya.
Laki-laki itu terlihat memandangan manekin itu, dan sesekali mengelusnya,
seakan berkomunikasi dengan manekin itu. Lalu terdengar suara perempuan,
“Mengapa kau
melihat ku seperti itu?” Nada suaranya terdengar mengancam.
“Karena aku harus
melihatmu.” Jawab laki-laki itu, nada suara terdengar sedih.
Pertanyaan demi
pertanyaan perempuan itu lontarkan kepada laki-laki itu, seperti ingin tahu.
Sedangkan ketiga
tokoh lainnya terlihat tenang,bersembunyi dibalik plastik putih buram yang
menjuntai kebawah, duduk bersila dengan pandangan yang tajam menatap lurus
kedepan. Seolah-olah tak menghiraukan percakapan hebat yang terjadi antara
laki-laki dan perempuan itu.
Suasana yang tadinya ‘mencekam’
berubah menjadi ringan, dan terkesan kekanak-kanakan. Keempat orang tokoh
bertingkah dan bergerak kesana kemari seolah dirinya berumur belasan tahun.
Memainkan permainan masa kecil, seperti lompat tali, dan taplak. Suara-suara
kecil terdengar riuh saat mereka bermain. Suara tawa bocah laki-laki yang
sangat dirindukan oleh si Nyonya. Keempat tokoh berjubah itu, bermain dan terus
bermain, tanpa memperdulikan Nyonya. Dengan tersedu-sedu, dengan suara merdunya
di Nyonya pun bernyanyi, nyanyian yang mengisyaratkan isi hati, pikiran, serta
suasana dirinya.
Nyonya teringat
pada saat dirinya menceritakan dongeng
kepada anak laki-lakinya yang saat itu selalu tertidur dipangkuannya. Bagaimana
setiap malam anak laki-laki itu selalu menagih kepada dirinya untuk diceritakan
tentang sebuah dongeng.
Hingga akhirnya
keempat tokoh berjubah itu meminta pula diceritakan sebuah dongeng oleh si
Nyonya. Namun ia selalu bertanya kembali pada keempat tokoh itu, dan menyamakan
bahwa dirinya pun seperti dongeng yang keempat tokoh itu minta untuk
diceritakan.
Keempat tokoh
berjubah itu berhenti meminta kepada Nyonya, dan berteriak
“Berarti hidupmu
adalah dongeng Nyonya!”
Pernyataan-pernyataan
itu memenuhi rongga telinga Nyonya. Ia menggeleng, tidak membenarkan pernyataan
itu, namun setelahnya ia mengangguk juga.
Diakhir
pertunjukkan, si laki-laki dan Nyonya mulai lelah dengan kenangan yang selalu
mengusik diri mereka. Hingga si lelaki mendekati manekin, memeluknya dari
belakang, mengeluarkan pisau, lalu menusuk bagian demi bagian manekin itu
secara perlahan, hingga air mengalir keluar dari tubuh manekin itu, membasahi
panggung dan tubuh laki-laki itu.
Setelahnya laki-laki itu beranjak dari
tempatnya. Berganti dengan si Nyonya yang datang mendekati manekin itu dengan menarik
satu ember penuh air, yang ia bawa dengan sekuat tenaga. Ia ambil satu gayung
air dari dalam ember itu, lalu menyiram nya tinggi diatas tubuh manekin dengan
air mata dan isak tangis dirinya. Begitu berulang-ulang hingga air habis, dan
benar-benar membasahi panggung serta dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar