Rabu, 14 Oktober 2015

Ulasan Teater "Mengancam Kenangan"

Kenangan, setiap manusia pasti memiliki kenangan dalam hidupnya. Entah itu kenangan bersama kekasih, kawan, maupun keluarga. Jika berbicara mengenai kenangan, tak akan pernah ada usai. Setiap manusia pun memiliki definisi kenangan berbeda-beda. Seperti pertunjukkan teater, Kamis pekan lalu tanggal 8 Oktober 2015 diperankan oleh 5 aktor dan aktris dari Teater Tikar, yang mengisahkan sebuah cerita hidup  mengenai ‘Kenangan’.

            Awal pertunjukkan teater ini dimulai dari latar panggung yang terlihat ‘mencekam’, dengan pencahayaannya yang sengaja dibuat minimal.  Suasana pun mulai senyap, penonton mulai memperhatikan setiap gerak-geraik yang dilakukan oleh lima tokoh yang berada diatas panggung.

Seorang aktris terlihat berdiri, menggengam gagang sapu. Empat orang tokoh lainnya sudah pada tempatnya masing-masing, dibalik plastik putih buram yang menjuntai kebawah, terkesan seperti bersembunyi dengan memakai jubah, yang membuat wajah empat tokoh itu tak terlihat dengan jelas. Dengan tatapan mata mereka yang tajam dan lurus kedepan. Salah satu tokoh laki-laki  berjubah yang berdiri di depan Nyonya-aktris yang menggenggam gagang sapu-, mencoba membuka percakapan dengan membuka mulut, bermaksud mengajak si Nyonya untuk berdialog. Suaranya terdengar sangat jelas dan keras diiringi dengan dentuman gagang sapu oleh si Nyonya. Dan dentuman sapu pada saat pertama kali, membuat penonton terkejut. Namun, terlihat Nyonya enggan menanggapi sapaan tokoh laki-laki itu, namun akhirnya ia mengalah untuk membalas sapaan itu.
           Tokoh laki-laki dengan badan gempal itu pun bertanya kepada Nyonya, dengan pandangan mata yang tajam dan lurus kedepan,

“Nyonya, mengapa kau meluangkan waktu sekedar untuk menyapu teras rumahmu?”

Nyonya tak menanggapinya, lalu datang pertanyaan lain dari tokoh perempuan berjubah yang berdiri disisi kanan pangung dibalik plastik putih buram yang menjuntai, nada suaranya yang terdengar tegas dan yakin. Nyonya terlihat sangat tidak nyaman dengan dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya dari tokoh-tokoh berjubah itu. Tangannya mulai bergetar menggenggam gagang sapu tersebut, raut wajahnya sarat akan kesedihan yang mendalam, bibirnya pun mulai bergetar.

Lalu keempat tokoh berjubah itu, bergerak dari tempatnya, dan berjalan mengelilingi si Nyonya, dengan salah satu tangan mereka menunjuk tepat kearah si Nyonya. Langkah kaki yang mereka buat terdengar sangat jelas, dan keras, seolah-olah berusaha memenuhi kepala Nyonya dengan suara-suara yang gaduh. Keempat tokoh berjubah itu meneriakkan pertanyaan-pertanyaan pada si Nyonya dengan suara keras.

Seorang perempuan memeluk erat lengan seorang laki-laki, dibawah keduanya ada seorang perempuan lainnya duduk diantara keduanya yang berdiri, satu dari masing-masing tangan laki-laki dan perempuan yang bergandengan itu menutup mata perempuan yang ada dibawah mereka. Mereka bertahan pada posisi itu selama beberapa detik.

Seorang perempuan berdiri, dibawahnya ada laki-laki dan perempuan, dimana si perempuan tengah memeluk erat lengan si laki-laki, lalu kedua tangan perempuan yang berdiri itu menutup mata kedua orang yang berada dibawahnya. Mereka bertahan pada posisi itu selama beberapa detik. Setiap pergerakan yang dilakukan ketiga tokoh itu mampu menarik perhatian penonton.

Salah satu dari perempuan itu bergegas bersembunyi dibalik plastik putih buram yang menjuntai, dan dengan cepat mengenakan jubah. Jubah yang sama seperti yang dikenakan keempat tokoh tadi di scene awal.

Terlihat laki-laki berdiri diujung panggung sebelah kiri, dengan makekin dihadapannya. Laki-laki itu terlihat memandangan manekin itu, dan sesekali mengelusnya, seakan berkomunikasi dengan manekin itu. Lalu terdengar suara perempuan,

“Mengapa kau melihat ku seperti itu?” Nada suaranya terdengar mengancam.

“Karena aku harus melihatmu.” Jawab laki-laki itu, nada suara terdengar sedih.

Pertanyaan demi pertanyaan perempuan itu lontarkan kepada laki-laki itu, seperti ingin tahu.
Sedangkan ketiga tokoh lainnya terlihat tenang,bersembunyi dibalik plastik putih buram yang menjuntai kebawah, duduk bersila dengan pandangan yang tajam menatap lurus kedepan. Seolah-olah tak menghiraukan percakapan hebat yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu.

            Suasana yang tadinya ‘mencekam’ berubah menjadi ringan, dan terkesan kekanak-kanakan. Keempat orang tokoh bertingkah dan bergerak kesana kemari seolah dirinya berumur belasan tahun. Memainkan permainan masa kecil, seperti lompat tali, dan taplak. Suara-suara kecil terdengar riuh saat mereka bermain. Suara tawa bocah laki-laki yang sangat dirindukan oleh si Nyonya. Keempat tokoh berjubah itu, bermain dan terus bermain, tanpa memperdulikan Nyonya. Dengan tersedu-sedu, dengan suara merdunya di Nyonya pun bernyanyi, nyanyian yang mengisyaratkan isi hati, pikiran, serta suasana dirinya.

Nyonya teringat pada saat  dirinya menceritakan dongeng kepada anak laki-lakinya yang saat itu selalu tertidur dipangkuannya. Bagaimana setiap malam anak laki-laki itu selalu menagih kepada dirinya untuk diceritakan tentang sebuah dongeng.

Hingga akhirnya keempat tokoh berjubah itu meminta pula diceritakan sebuah dongeng oleh si Nyonya. Namun ia selalu bertanya kembali pada keempat tokoh itu, dan menyamakan bahwa dirinya pun seperti dongeng yang keempat tokoh itu minta untuk diceritakan.

Keempat tokoh berjubah itu berhenti meminta kepada Nyonya, dan berteriak

“Berarti hidupmu adalah dongeng Nyonya!”

Pernyataan-pernyataan itu memenuhi rongga telinga Nyonya. Ia menggeleng, tidak membenarkan pernyataan itu, namun setelahnya ia mengangguk juga.

Diakhir pertunjukkan, si laki-laki dan Nyonya mulai lelah dengan kenangan yang selalu mengusik diri mereka. Hingga si lelaki mendekati manekin, memeluknya dari belakang, mengeluarkan pisau, lalu menusuk bagian demi bagian manekin itu secara perlahan, hingga air mengalir keluar dari tubuh manekin itu, membasahi panggung dan tubuh laki-laki itu.
Setelahnya laki-laki itu beranjak dari tempatnya. Berganti dengan si Nyonya yang datang mendekati manekin itu dengan menarik satu ember penuh air, yang ia bawa dengan sekuat tenaga. Ia ambil satu gayung air dari dalam ember itu, lalu menyiram nya tinggi diatas tubuh manekin dengan air mata dan isak tangis dirinya. Begitu berulang-ulang hingga air habis, dan benar-benar membasahi panggung serta dirinya.

Setelahnya lampu menyala, dan pertunjukkan berakhir. Bersamaan dengan riuhnya tepuk tangan para penonton yang berada diruangan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar