Rabu, 28 Oktober 2015

ULASAN ‘Nobar’ WAYANG KAMPUNG SEBELAH

Selasa, 20 Oktober 2015, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas PGRI Semarang kembali mengadakan acara ‘nonton bareng’. Tetapi kali ini, bukan menonton film, melainkan wayang-salah satu kesenian yang berasal dari Jawa-. Pertunjukkan wayang oleh Wayang Kampung Sebelah.

            Jika dilihat, penonton pada nobar kali ini lebih banyak, dibanding ketika nobar film Soekarno sebelumnya. Karena telihat dari kursi-kursi bagian bawah terlihat penuh, dan juga bagian tribun pun terisi, walaupun tidak penuh. Antusias penonton pada nobar kali ini lebih banyak dibanding nobar film Soekarno sebelumnya. Entah mungkin karena film Soekarno sebelumnya sudah banyak yang menonton di bioskop atau karena ini pertunjukkan wayang lebih menarik dibandingkan film.

            Wayang Kampung Sebelah kali ini menceritakan mengenai pemilihan Kepala Desa di Desa Bangunharjo. Tapi sebelum cerita dimulai, pertunjukkan dibuka dengan beberapa lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi, atau dapat disebut sinden yang merupakan salah satu anggota Wayang Kampung Sebelah. Setelah sinden selesai menyayikan beberapa lagu, Dalang menempatkan diri, duduk bersila membelakangi penonton.

            Cerita dimulai dengan gembar-gembor salah satu calon Kepala Desa, dengan penampilannya yang sudah rapi dan mengenakan jas. Dia menyampaikan segala misinya untuk mengambil hati rakyat supaya nantinya dapat memilihnya sebagai kepala desa. Lalu mulailah pada saat penghitungan suara, dan muncul lagi beberapa peran.

Disini dalang sangat pandai mengantur waktu, dan juga perubahan suara tiap tokoh. Dalang bisa merubah suaranya menjadi lebih dari 5 suara sesuai dengan karakter si tokoh. Percakapan yang terjadi antar tokohpun tidak terlalu formal atau serius. Dalang membuatnya ringan dan mudah dipahami penonton. Bahkan percakapan-percakapan yang terjadi mengundang gelak tawa para penonton. Entah itu dari nada suara maupun isi dialognya.

Lalu, selesailah penghitungan suara, dan yang terpilih menjadi Kepala Desa adalah Somad. Cara bicara Somad membuat penonton gemas, dan juga tertawa disaat yang sama. Somad dapat terpilih menjadi kepala desa karena pemilu ‘uang’ yang ia lakukan kepada rakyat Bangunharjo. Memang dasar rakyat Indonesia yang mudah sekali terpengaruh, walaupun hanya dengan selembar uang. Mereka rela mengorbankan desanya dipimpin oleh orang yang tidak tepat, orang yang belum berkompeten.

Malam hari setelah terpilihnya Somad sebagai Kepada Desa, ia mengadakan pesta rakyat, dengan mengundang beberapa penyanyi, seperti Roma Ramarimari yang sebenarnya adalah Roma Irama, dan banyak lagi. Dan lagi-lagi nama-nama seperti itu membuat penonton tertawa. Pesta rakyat berlangsung sangat ramai, hingga larut.

Setelah beberapa waktu masa kepemimpinan Somad, ada rakyat merasa kurang setuju, dan meminta agar Somad turun dari jabatannya sebagai Kepala Desa. Rakyat melihat kinerja Somad yang sama sekali tidak baik, dan akhirnya menuntut agar Somad berhenti menjadi kepala desa. Warga desa Bangunharjo butuh pemimpin yang benar-benar bisa memimpin.


Hidup memang lah membutuhkan uang, tak ada orang yang bisa hidup layak apabila tanpa uang. Tidak ingin munafik, tetapi memang begitulah, uang adalah salah satu yang utama dalam hidup. Tetapi, kita harus bisa menyaring, dimana dan kapan kita bisa menempatkan uang itu. Tidak selamanya uang itu selalu kita jadikan patokan. Tak selamanya pula sesuatu yang berjalan dengan uang, akhirnya akan baik. Seperti dalam cerita ini. 

Rabu, 21 Oktober 2015

ULASAN ‘Nobar’ FILM SOEKARNO

          Kamis, 15 Oktober 2015, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang mengadakan nonton bareng,  film Soekarno, guna menyambut Bulan Bahasa. Gedung Balairung yang digunakan sebagai tempat nonton bareng dipenuhi oleh mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni. Terlihat antusias dari para mahasiswa, walaupun sangat yakin bahwa sebagian besar dari mahasiswa sudah pernah melihat film ini sebelumnya, karena film ini memang sudah lama dirilis, yaitu tanggal 11 Desember 2013 (11-12-13) dengan Hanung Bramantyo sebagai sutradara.

            Ketika film mulai diputar, seluruh penonton diminta berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Awalnya masih banyak mahasiswa yang ragu untuk berdiri atau tidak, namun akhirnya seluruh penonton memutuskan untuk berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelahnya film benar-benar dimulai, penonton menyaksikannya dengan serius. Film ini menceritakan tentang perjalanan hidup Ir. Soekarno dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Percakapan yang digunakan dalam film ini bukan hanya menggunakan bahasa Indonesia saja, tetapi terkadang ada percakapan yang menggunakan bahasa Jawa, Sumatera, dan juga bahasa asing seperti Inggris, Belanda, Jepang, sehingga disertai subtittle bahasa Indonesia sehingga penonton memahami isi percakapan yang ada.

            Film ini menceritakan awal mula pergantian nama Kusno menjadi Soekarno. Karna pada  masa itu, orang masih mempercayai yang namanya keberuntungan maupun kesialan melalui sebuah nama. Masa remaja Soekarno pun diceritakan disini, sudah terlihat bakat pemimpin dan jiwa pembela sejak Soekarno remaja. Pemikiran-pemikirannya yang terkadang melebihi orang dewasa pada saat itu.

            Kisah cinta dan kehidupan rumah tangga Soekarno pun juga diceritakan disini. Saya yang awalnya hanya mengetahui bahwa istri satu-satunya Soekarno adalah Ibu Fatmawati. Tetapi setelah melihat film ini saya tahu bahwa sebelum menikah dengan Ibu Fatmawati, Soekarno pernah menikah dengan Ibu Inggit. Jadi kisah cinta Soekarno dan Fatmawati, berawal ketika anak angkat Soekarno-karena ketika menikah dengan Inggit, Soekarno tidak memiliki keturunan-berusia remaja, mengenalkan Fatmawati sebagai temannya kepada Soekarno dan Inggit. Soekarno telihat tertarik kepada Fatmawati pada saat itu.

Dan adegan yang benar-benar membuat emosi saya bangkit adalah ketika Inggit memutuskan pergi dari sisi Soekarno dan mengizinkan Soekarno untuk menikahi Fatmawati, tetes air mata sempat terasa keluar dan juga rasa haru begitu dalam, betapa berjiwa besar seorang Ibu Inggit, dan begitu berlapang dada. Lalu singkatnya, Soekarno menyatakan cinta kepada Fatmawati dan memintanya menikah dengan Soekarno, setelah Soekarno pisah dengan Inggit.


            Adegan-adegan yang mengerikan banyak disajikan, seperti penjajah Jepang yang dengan tega menembak warga Indonesia hingga mati, bagaimana kerja rodi itu dilakukan, hukuman-hukuman yang diberikan penjajah kepada rakyat Indonesia. Semua adegan itu benar-benar membuat miris. Dalam film pula ini, terlihat bagaimana sulitnya, perihnya hati Soekarno melihat rakyatnya yang diperbudak oleh penjajah. Sebetulnya film ini sebagian besar adalah menceritakan kembali sejarah perjuangan Soekarno dalam meraih kemerdekaan Indonesia yang dikemas dalam bentuk film. 

Perjuangan-perjuangan hebat Soekarno, pemikiran-pemikiran cerdas dan tepatnya, pidatonya yang selalu berhasil mengambil hati rakyat dimana pun itu. Soekarno merupakan tokoh besar yang telah memberikan banyak hal bagi bangsa dan negara Indonesia. Bersama Moh. Hatta sang sahabat dan rakyat lainnya akhirnya Soekarno berhasil memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dengan memproklamirkan teks Proklamasi hasil rundingan Soekarno, Moh. Hatta, dan sahabatnya, serta mengibarkan bendera Merah Putih yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati.

Senin, 19 Oktober 2015

Tanggapan Tulisan

Taggapan Tulisan “Peneladanan Dharma Perguruan Tinggi”

            Saya setuju dengan pendapat penulis yang membenarkan pernyataan yang diungkapkan oleh Rektor UPGRIS, Bapak Dr. Muhdi SH, M.Hum. Dimana pernyataannya adalah seperti ini “Jika dosen hanya mengabar saja, dosen itu ibarat tukang becak.”. Sebenarnya pernyataan ini pun cocok disampaikan kepada Guru. Karena memang inti dari tugas pekerjaan antara dosen dan guru adalah sama, yaitu mengajar, menyampaikan ilmu. Tapi tak sampai disitu saja, seorang guru atau dosen yang diharapkan oleh instansi pendidikan ialah, seorang pengajar yang mampu membimbing anak didik, mempengaruhi anak didik, bukan hanya sekadar menyampaikan materi, mengajar, berdiri didepan kelas, lalu semua tugasnya sudah selesai.
            Dosen dan Guru pun diminta untuk mampu membangun karakter tiap-tiap anak didik, membangun generasi yang berkualitas, yang nantinya akan mereka lepas untuk berjuang dengan dunia luar, dunia persaingan.
            Antara dosen dengan mahasiswa, guru dengan siswa, peran yang mereka jalankan harus seimbang, sehingga harapan tiap instansi pendidikan terwujud, dengan cara kerjasama yang dilakukan antara dosen dengan mahasiswa dan guru dengan siswa.

Tanggapan Tulisan “Pemerataan Label Sekolah”

            Sekolah-sekolah favorit dewasa ini memang menjadi incaran para siswa baru, bahkan para orang tua. Yang mereka ketahui mengenai sekolah favorit ialah sekolah yang memiliki standar lebih tinggi dibanding sekolah-sekolah biasa. Dulu sempat ada yang dinamakan sekolah RSBI. Pada saat itu, orang berfikir, jika salah satu dari mereka bisa masuk kedalam sekolah berlabel RSBI itu, ia adalah orang yang hebat dan memiliki kelebihan materi. Faktanya memang begitu, sekolah berlabel RSBI pada saat itu, dipandang sebagai sebagai sekolah favorit. Tapi RSBI tersebut tidak berlangsung lama, hingga akhirnya sekitar 3 tahun lalu, sudah tidak ada lagi sekolah berlabel RSBI.
            Di Indonesia seperti ada penggolongan atau pengelompokkan sekolah-sekolah. Seperti misalnya ada sekolah yang dipilih karna sekolah tersebut terkenal dengan siswanya yang pandai, atau sekolah tersebut dipilih karna hanya orang-orang yang berlebihan materi saja yang bisa masuk sekolah tersebut. Sebetulnya hal semacam ini wajar-wajar saja, karna memilih itu merupakan hak tiap manusia. Akan tetapi, jika seperti itu terus, bagaimana sekolah-sekolah pinggiran yang tidak pernah tersorot, seperti yang disampaikan penulis.

Tanggapan Tulisan “Puisi-Puisi Setia Naka Andrian”

            Puisi-puisi yang ditulis oleh penulis disini sangat menarik. Saya suka kata demi kata yang akhirnya dirangkai menjadi kalimat dalam puisi-puisi tersebut. Kata-kata yang digunakan sebenarnya tidak terlalu berat, tetapi agar kita dapat menagjap atau memahami maksud dari puisi tersebut, kita memang harus sedikit berpikir.


Rabu, 14 Oktober 2015

Ulasan Teater "Mengancam Kenangan"

Kenangan, setiap manusia pasti memiliki kenangan dalam hidupnya. Entah itu kenangan bersama kekasih, kawan, maupun keluarga. Jika berbicara mengenai kenangan, tak akan pernah ada usai. Setiap manusia pun memiliki definisi kenangan berbeda-beda. Seperti pertunjukkan teater, Kamis pekan lalu tanggal 8 Oktober 2015 diperankan oleh 5 aktor dan aktris dari Teater Tikar, yang mengisahkan sebuah cerita hidup  mengenai ‘Kenangan’.

            Awal pertunjukkan teater ini dimulai dari latar panggung yang terlihat ‘mencekam’, dengan pencahayaannya yang sengaja dibuat minimal.  Suasana pun mulai senyap, penonton mulai memperhatikan setiap gerak-geraik yang dilakukan oleh lima tokoh yang berada diatas panggung.

Seorang aktris terlihat berdiri, menggengam gagang sapu. Empat orang tokoh lainnya sudah pada tempatnya masing-masing, dibalik plastik putih buram yang menjuntai kebawah, terkesan seperti bersembunyi dengan memakai jubah, yang membuat wajah empat tokoh itu tak terlihat dengan jelas. Dengan tatapan mata mereka yang tajam dan lurus kedepan. Salah satu tokoh laki-laki  berjubah yang berdiri di depan Nyonya-aktris yang menggenggam gagang sapu-, mencoba membuka percakapan dengan membuka mulut, bermaksud mengajak si Nyonya untuk berdialog. Suaranya terdengar sangat jelas dan keras diiringi dengan dentuman gagang sapu oleh si Nyonya. Dan dentuman sapu pada saat pertama kali, membuat penonton terkejut. Namun, terlihat Nyonya enggan menanggapi sapaan tokoh laki-laki itu, namun akhirnya ia mengalah untuk membalas sapaan itu.
           Tokoh laki-laki dengan badan gempal itu pun bertanya kepada Nyonya, dengan pandangan mata yang tajam dan lurus kedepan,

“Nyonya, mengapa kau meluangkan waktu sekedar untuk menyapu teras rumahmu?”

Nyonya tak menanggapinya, lalu datang pertanyaan lain dari tokoh perempuan berjubah yang berdiri disisi kanan pangung dibalik plastik putih buram yang menjuntai, nada suaranya yang terdengar tegas dan yakin. Nyonya terlihat sangat tidak nyaman dengan dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya dari tokoh-tokoh berjubah itu. Tangannya mulai bergetar menggenggam gagang sapu tersebut, raut wajahnya sarat akan kesedihan yang mendalam, bibirnya pun mulai bergetar.

Lalu keempat tokoh berjubah itu, bergerak dari tempatnya, dan berjalan mengelilingi si Nyonya, dengan salah satu tangan mereka menunjuk tepat kearah si Nyonya. Langkah kaki yang mereka buat terdengar sangat jelas, dan keras, seolah-olah berusaha memenuhi kepala Nyonya dengan suara-suara yang gaduh. Keempat tokoh berjubah itu meneriakkan pertanyaan-pertanyaan pada si Nyonya dengan suara keras.

Seorang perempuan memeluk erat lengan seorang laki-laki, dibawah keduanya ada seorang perempuan lainnya duduk diantara keduanya yang berdiri, satu dari masing-masing tangan laki-laki dan perempuan yang bergandengan itu menutup mata perempuan yang ada dibawah mereka. Mereka bertahan pada posisi itu selama beberapa detik.

Seorang perempuan berdiri, dibawahnya ada laki-laki dan perempuan, dimana si perempuan tengah memeluk erat lengan si laki-laki, lalu kedua tangan perempuan yang berdiri itu menutup mata kedua orang yang berada dibawahnya. Mereka bertahan pada posisi itu selama beberapa detik. Setiap pergerakan yang dilakukan ketiga tokoh itu mampu menarik perhatian penonton.

Salah satu dari perempuan itu bergegas bersembunyi dibalik plastik putih buram yang menjuntai, dan dengan cepat mengenakan jubah. Jubah yang sama seperti yang dikenakan keempat tokoh tadi di scene awal.

Terlihat laki-laki berdiri diujung panggung sebelah kiri, dengan makekin dihadapannya. Laki-laki itu terlihat memandangan manekin itu, dan sesekali mengelusnya, seakan berkomunikasi dengan manekin itu. Lalu terdengar suara perempuan,

“Mengapa kau melihat ku seperti itu?” Nada suaranya terdengar mengancam.

“Karena aku harus melihatmu.” Jawab laki-laki itu, nada suara terdengar sedih.

Pertanyaan demi pertanyaan perempuan itu lontarkan kepada laki-laki itu, seperti ingin tahu.
Sedangkan ketiga tokoh lainnya terlihat tenang,bersembunyi dibalik plastik putih buram yang menjuntai kebawah, duduk bersila dengan pandangan yang tajam menatap lurus kedepan. Seolah-olah tak menghiraukan percakapan hebat yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu.

            Suasana yang tadinya ‘mencekam’ berubah menjadi ringan, dan terkesan kekanak-kanakan. Keempat orang tokoh bertingkah dan bergerak kesana kemari seolah dirinya berumur belasan tahun. Memainkan permainan masa kecil, seperti lompat tali, dan taplak. Suara-suara kecil terdengar riuh saat mereka bermain. Suara tawa bocah laki-laki yang sangat dirindukan oleh si Nyonya. Keempat tokoh berjubah itu, bermain dan terus bermain, tanpa memperdulikan Nyonya. Dengan tersedu-sedu, dengan suara merdunya di Nyonya pun bernyanyi, nyanyian yang mengisyaratkan isi hati, pikiran, serta suasana dirinya.

Nyonya teringat pada saat  dirinya menceritakan dongeng kepada anak laki-lakinya yang saat itu selalu tertidur dipangkuannya. Bagaimana setiap malam anak laki-laki itu selalu menagih kepada dirinya untuk diceritakan tentang sebuah dongeng.

Hingga akhirnya keempat tokoh berjubah itu meminta pula diceritakan sebuah dongeng oleh si Nyonya. Namun ia selalu bertanya kembali pada keempat tokoh itu, dan menyamakan bahwa dirinya pun seperti dongeng yang keempat tokoh itu minta untuk diceritakan.

Keempat tokoh berjubah itu berhenti meminta kepada Nyonya, dan berteriak

“Berarti hidupmu adalah dongeng Nyonya!”

Pernyataan-pernyataan itu memenuhi rongga telinga Nyonya. Ia menggeleng, tidak membenarkan pernyataan itu, namun setelahnya ia mengangguk juga.

Diakhir pertunjukkan, si laki-laki dan Nyonya mulai lelah dengan kenangan yang selalu mengusik diri mereka. Hingga si lelaki mendekati manekin, memeluknya dari belakang, mengeluarkan pisau, lalu menusuk bagian demi bagian manekin itu secara perlahan, hingga air mengalir keluar dari tubuh manekin itu, membasahi panggung dan tubuh laki-laki itu.
Setelahnya laki-laki itu beranjak dari tempatnya. Berganti dengan si Nyonya yang datang mendekati manekin itu dengan menarik satu ember penuh air, yang ia bawa dengan sekuat tenaga. Ia ambil satu gayung air dari dalam ember itu, lalu menyiram nya tinggi diatas tubuh manekin dengan air mata dan isak tangis dirinya. Begitu berulang-ulang hingga air habis, dan benar-benar membasahi panggung serta dirinya.

Setelahnya lampu menyala, dan pertunjukkan berakhir. Bersamaan dengan riuhnya tepuk tangan para penonton yang berada diruangan tersebut.